Tidak seperti biasanya, malam ini teman saya mengajak untuk tidak langsung pulang dulu. Sayapun menuruti ajakanya, dengan pertimbangan hari juga belum terlalu larut malam. Niatnya ingin jalan-jalan dulu, menikmati dinginnya malam bersama (haha.. jadi kayak orang pacaran gini ya?). Sebenarnya kami ingin mutar-mutar saja, melihat-lihat sekalian searching cewek di sekitaran Kampus. Sesuatu yang normal untuk dua orang cowok yang sedang jomblo. (Haha… kok jadi curhat gini ya?). Singkat cerita, ahirnya kami memutuskan untuk pulang lewat Kampus. Namun sebelum sempat masuk gang belakang kantor Polsek K*d*ton tiba-tiba motor kami dan beberapa kenderaan lainnya diberhentikan oleh sejumlah petugas Polantas yang sedang melakukan razia.
Polantas tersebut kemudian menanyakan SIM dan STNK kami. Karena merasa tidak melakukan pelanggaran apapun, saya menanyakan alasan mengapa mereka memberhentikan kami. Kemudian Polantas itu memberitahukan bahwa teman saya yang dibonceng dibelakang tidak mengenakan helm. Sontak saya kaget, karena baru sadar kalau helm yang dikenakan teman saya ketika berangkat tadi sudah dikembalikan kepada sepupu saya. Ahirnya saya menunjukan SIM dan STNK kepada si Polantas itu.
Si Polantaspun pergi menghampiri seorang temannya untuk meminta buku tilang, kemudian sedikit menyingkir kebelakang lalu kedekat siring yang memang sedikit lebih gelap lalu memanggil saya, dan saya pun mendekati Si Polantas itu. Setelah beberapa lama menanyai kami mengenai alasan mengapa tidak mengenakan helm, hendak kemana sampai ke pertanyaan kami bawa apa. Kemudian Si Polantas meminta persetujuan saya untuk menilang STNK, dan saya menolak dengan alasan bahwa motor itu dapat pinjam (saya bohong; terpaksa karena motor saya sebenarnya mati pajak), kemudian beliau mulai menuliskan identitas saya, identitas kederaan dan pelanggaran yang telah saya lakukan di surat tilang. Sayapun dengan senang hati mendektekan nama, tempat tanggal lahir,pekerjaan, alamat dan nomor polisi motor yang saya gunakan karena dari awal saya sadar kalau saya memang salah.
Polantas tersebut kemudian menjelaskan bahwa denda atas kelalaian kami tidak mengenakan helm adalah sebesar Rp 250.000,- dan saya pun harus mengambil SIM yang ditahan oleh petugas dengan terlebih dahulu mengikuti sidang di Pengadilan Negeri. Kemudian Polantas tersebut bertanya “ Mau ikut sidang atau damai?”. Dengan wajah sok polos saya menyakan maksud Si Polantas itu. Ia mengatakan “mau ikut sidang, atau bayar 50 ribu disini?” Saya dan teman saling bertatapan dan heran dengan pernyataan Polantas tersebut, kami benar-benar tidak menyangka omongan itu keluar dari seorang perwira polisi yang begitu berwibawa dimata kami. Ternyata kata “damai” bagi Polantas masih berlaku sampai sekarang. Saya lihat pengendara motor lain yang mengalami nasib yang sama dengan wajah penuh tekanan, mereka mengeluarkan uang damai dengan para Polantas tersebut.
Lalu dengan tersenyum disertai tawa kecil saya menjawab “Tilang aja pak, lagi gk punya duit..” (saya bohong;sebenarnya ada) Dengan wajah sedikit kesal dan kecewa Si Polantas itu menyodorkan surat tilang kepada saya untuk di tandangani, saya dengan senang hati mengambil pena dan surat tilang yang disodorkannya lalu menandatangani surat itu.
Sebenarnya bukan masalah uang 50 ribu sebagai kata damai dengan Polantas tersebut yang menjadi pikiran saya saat itu, tapi wibawa beliau sebagai seorang penegak hukum yang rela menjual sumpahnya dengan dengan harga 50 ribu. Kenapa beliau tidak merasa malu meminta uang “damai” secara terang-terangan, ataukah memang benar ada aturannya sehingga beliau mau menawarkan solusi itu. Sebenarnya saya ingin menanyakan itu kepada beliau, namun saya ragu sehingga ketika dikasih surat tilang saya hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada beliau karena telah menilang dan memberikan bahan tulisan kepada saya. Hahaha.. (selalu ada hikmah disetiap peristiwa).
Ternyata kata “damai” di jalan raya masih membudaya dan berakar di masyarakat dan petugas kita. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, bagaimana mungkin negara kita terbebas dari praktek korupsi dan suap-menyuap? Bagaimana mungkin Negara kita bisa maju dan menjadi yang terdepan? Bagaimana bisa menegakkan hukum jika sang penegak hukum juga merupakan pelanggar hukum. Jadi wajarlah jika hasil survey Lembaga Survey Indonesia yang dirilis tanggal 08 Januari 2012 kemarin menyatakan penegakan hukum pada 2011 merupakan yang terburuk dalam tujuh tahun terakhir. Oohh… hukum di negaraku yang semakin carut marut… !!!
Salam Diamond..!!!