Oleh : Arius Akbar, S.Pd
Latar Belakang Masalah
Keberadaan suatu
lembaga atau perusahaan, tidak akan terlepas dari proses pencatatan akuntansi.
Setiap lembaga atau perusahaan berkewajiban melakukan pencatatan atas
aktivitas-aktivitas akuntansi yang terjadi dalam perusahaan yang selanjutnya
disajikan dalam bentuk laporan akuntansi atau laporan keuangan. Laporan
tersebut disajikan sebagai bentuk pertanggung-jawaban atas dana serta aset
perusahaan yang dikelola oleh manajemen perusahaan kepada pemilik perusahaan atau pemegang saham dan sebagai sarana atau media utama bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Seperti telah diketahui, konsep akuntansi konvensional yang telah diterapkan di Indonesia maupun sebagai standar internasional selama ini merupakan adopsi pada barat dan budaya kapitalis yang hanya mengandalkan materi dan duniawi. Dengan semakin berkembangnya pola pikir manusia yang tidak hanya mengedepankan kepentingan duniawi, maka dirasa perlu untuk menyeimbangkannya dengan kepentingan ukhrawi. Akhir-akhir ini terjadi suatu peningkatan terhadap kajian bidang akuntansi menuju akuntansi dalam perspektif Islami atau akuntansi syariah. Beberapa isu yang mendorong munculnya akuntansi syariah adalah masalah harmonisasi standar akuntansi internasional di negara-negara Islam, usulan pemformatan laporan badan usaha Islami (Baydoun dan Willett, dalam Muhammad, 2003:77), dan kajian ulang filsafat tentang konstruksi etika dalam pengembangan teori akuntansi sampai pada masalah penilaian (asset) dalam akuntansi. Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah perlunya akuntansi syariah yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip syariat (Muhammad, 2003:79).
perusahaan yang dikelola oleh manajemen perusahaan kepada pemilik perusahaan atau pemegang saham dan sebagai sarana atau media utama bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Seperti telah diketahui, konsep akuntansi konvensional yang telah diterapkan di Indonesia maupun sebagai standar internasional selama ini merupakan adopsi pada barat dan budaya kapitalis yang hanya mengandalkan materi dan duniawi. Dengan semakin berkembangnya pola pikir manusia yang tidak hanya mengedepankan kepentingan duniawi, maka dirasa perlu untuk menyeimbangkannya dengan kepentingan ukhrawi. Akhir-akhir ini terjadi suatu peningkatan terhadap kajian bidang akuntansi menuju akuntansi dalam perspektif Islami atau akuntansi syariah. Beberapa isu yang mendorong munculnya akuntansi syariah adalah masalah harmonisasi standar akuntansi internasional di negara-negara Islam, usulan pemformatan laporan badan usaha Islami (Baydoun dan Willett, dalam Muhammad, 2003:77), dan kajian ulang filsafat tentang konstruksi etika dalam pengembangan teori akuntansi sampai pada masalah penilaian (asset) dalam akuntansi. Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah perlunya akuntansi syariah yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip syariat (Muhammad, 2003:79).
Akuntansi
syariah muncul untuk menyeimbangkan. Triyuwono (2006:320) mengungkapkan bahwa
secara filosofis teori Akuntansi Syariah memiliki beberapa prinsip
(Kuntowidjojo 1991, Triyuwono 1995; 2000a; 2000b). Teori tersebut menyatakan
bahwa Akuntansi Syariah bertujuan untuk terciptanya peradaban dengan wawasan
humanis, emansipatoris, transedental dan teological. Humanis berarti bersifat
manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat dipraktekkan sesuai dengan
kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang selalu
berinteraksi dengan orang lain secara dinamis. Emansipatoris, yaitu mampu
melakukan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap teori dan praktek
akuntansi yang modern. Transedental berarti melintas batas disiplin ilmu
akuntansi itu sendiri. Sedangkan teological, diartikan bahwa akuntansi tidak
sekedar memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, tetapi juga wujud
pertanggungjawaban manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, dan alam semesta. Teological sebagai sifat penyeimbang dari
tujuan akuntansi konvensional sehingga akuntansi tidak hanya membentuk suatu
hubungan secara horizontal saja yaitu hubungan antara manusia dengan sesamanya,
tetapi juga hubungan secara vertikal yaitu tanggungjawab manusia pada Tuhan.
Hal ini berarti bahwa untuk mewujudkan cara pandang yang sadar akan hakekat
diri manusia dan tanggung jawabnya kelak di hadapan Allah.
2. Konsep Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan penerapan
tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu
sendiri. Bisnis selalu berhubungan dengan masalah-masalah etis dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Hal ini dapat dipandang sebagai etika pergaulan bisnis.
Seperti halnya manusia pribadi juga memiliki etika pergaulan antar manusia,
maka pergaulan bisnis dengan masyarakat umum juga memiliki etika pergaulan
yaitu etika pergaulan bisnis. Etika pergaulan bisnis dapat meliputi
beberapa hal antara lain adalah :
1. Hubungan antara bisnis dengan
langganan / konsumen
Hubungan antara bisnis dengan
langgananya merupakan hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu
bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya
dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
a. Kemasan yang berbeda-beda
membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga
terhadap produknya.
b. Bungkus atau kemasan
membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya, sehingga produsen perlu
menberikan penjelasan tentang isi serta kandungan atau zat-zat yang terdapat
didalam produk itu.
c. Pemberian servis dan
terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis.
Sangatlah tidak etis suatu bisnis yang menjual produknya yang ternyata
jelek (busuk) atau tak layak dipakai tetap saja tidak mau mengganti
produknya tersebut kepada pembelinya.
2. Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada umumnya selalu
berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika
pergaulan dengan karyawannya.Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi
beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training),
Promosi atau kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun
lay-off atau pemecatan / PHK ( pemutusan hubungan kerja). Didalam menarik
tenaga kerja haruslah dijaga adanya penerimaan yang jujur sesuai dengan hasil
seleksi yang telah dijalankan. Sering kali terjadi hasil seleksi tidak
diperhatikan akan tetapi yang diterima adalah peserta atau calon yang berasal
dari anggota keluarga sendiri. Disamping itu tidak jarang seorang manajer yang
mencoba menaikan pangkat para karyawan dari generasi muda yang dianggapnya
sangat potensial dalam rangka membawa organisasi menjadi lebih dinamis, tetapi
hal tersebut mendapat protes keras dari karyawan dari generasi tua. Masalah
lain lagi dan yang paling rawan adalah masalah pengeluaran karyawan atau
dropout. Masalah DO atau PHK ini perlu mendapatkan perhatian ekstra dari para
manajer karena hal ini menyangkut masalah tidak saja etik akan tetapi juga
masalah kemanusian. Karyawan yang di PHK –kan tentu saja akan kehilangan mata
pencahariannya yang menjadi tumpuan hidup dia bersama keluarganya.
3. Hubungan antar bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan
antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain Hal ini bisa terjadi
hubungn antara perusahaan dengan saingannya, dengan penyalurnya, dengan
grosirnya, dengan pengecernya, agen tunggalnya maupun distributornya. Dalam
kegiatan sehari-hari tentang hubungan tersebut sering terjadi benturan-benturan
kepentingan antar kedunya. Dalam hubungan itu tidak jarang dituntut adanya
etika pergaulan bisnis yang baik. Sebagai contoh sebuah penerbit yang ingin
menyalurkan buku-buku terbitanya kepada para grosir yang bersedia membeli
secara kontan dalam jumlah besar dan kontinyu dengan memperoleh potongan rabat
yang sama dengan penyalur. Rencana ini menjadi kandas karena mendapat protes
keras dari para penyalur-penyalurnya yang memandang tindakan penerbit tersebut
akan sangat merugikan para penyalur sedangkan omset dari para penyalur sendiri
dalam beberapa tahun tidak meningkat. Contoh lain adalah adanya perebutan
tenaga kerja ahli atau manajer profesional oleh para pengusaha, persaingan
harga yang saling menjatuhkan diantara bisnismen dan sebagainya.
4. Hubungan dengan Investor
Perusahaan yang berbentuk
Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga
pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor
atau calon investornya. Informasi yang tidak jujur akan menjerumuskan para
investor untuk mengambil keputusan investasi yang keliru. Dalam hal ini perlu
mandapat perhatian yang serius karena dewasa ini di Indonesia sedang mengalami
lonjakan kegiatan pasar modal. Banyak permintaan dari para pengusaha yang ingin
menjadi emiten yang akan menjual sahamnya kepada masyarakat. Dipihak lain
masyarakat sendiri juga sangat berkeinginan untuk menanamkan uangnya dalam
bentuk pembelian saham ataupun surat-surat berharga yang lain yang diemisi oleh
perusahaan di pasar modal. Oleh karena itu masyarakat calon pemodal yang ingin
membeli saham haruslah diberi informasi secara lengkap dan benar terhadap
prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai terjadi
adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.
5. Hubungan dengan Lembaga-Lembaga
Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga
keuangan terutama jawatan pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang
bersifat finansial. Hubungan ini merupakan hubungn yang berkaitan dengan
penyusunan laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan Rugi dan Laba
misalnya. Laporan finansial tersebut haruslah disusun secara baik dan benar
sehingga tidak terjadi kecendrungan kearah penggelapan pajak misalnya. Keadaan
tersebut merupakan etika pergaulan bisnis yang tidak baik.
Pelaksanaan tangungjawab sosial
suatu bisnis merupakan penerapan kepedulian bisnis terhadap lingkungan, baik
lingkungan alam, teknologi, ekonomi, sosial, budaya,perintah maupun masyarakat
Internasional. Bisnis yang menerapkan tanggung jawab sosial itu merupakan
bisnis yang menjalankan etika bisnis, sedangkan bisnis yang tidak melaksanakan
tanggung jawab sosial itu merupakan penerapan yang tidak etis. Penerapan etika
bisnis ini murupakan penerapan dari konsep “ Stake Holder” sebagai
pengganti dari konsep lama yaitu konsep “Stock Holder” . Pengusaha
yang menerapkan konsep Stock Holder berusaha untuk mementingkan
kepentingan para pemengang saham (Stockholder) saja, di mana para
pemegang saham tentu saja akan mementingkan kepentinganya yaitu penghasilan
yang tinggi baginya yaitu yang berupa deviden atau pembagian laba serta harga
saham dipasar bursa. Dengan memperoleh deviden yang tinggi maka penghasilan
mereka akan tinggi, sedangkan dengan naiknya nilai atau kurs saham akan
merupakan kenaikan kekayaan yang dimilikinya yaitu sahamnya itu dapat dijual
dengan harga yang lebih tinggi. Pemenuhan kepentingan ataupun tuntutan dari
para pemengan saham itu sering kali mengabaikan kepentingan – kepentingan
pihak-pihak yang lain yang juga terlibat dalam kegiatan bisnis. Pihak lain yang
terkait dalam kegiatan bisnis tidak hanya para pemegang saham saja akan tetapi
masih banyak lagi seperti :
·
Pekerja/ karyawan
·
Konsumen
·
Kreditur
·
Lembaga-lembaga keuangan
·
Pemerintah.
Pengusaha yang menjalankan
bisnisnya dengan mengingat atau memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang
terkait dalam kegiatan bisnis yang tidak saja hanya mementingkan kepentingan
pemegang saham saja merupakan pengusaha yang menerapkan konsep baru yang
dikenal sebagai konsep “ Stakeholder”.
2.2 Syariat Islam Dalam Etika Bisnis
Salah satu kajian penting dalam
Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set
of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang
mengatur hidup manusia). Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara
rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral
berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan
buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa
sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada
tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk
apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang
amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis.
Etika bisnis dalam Islam
Islam telah mensyariatkan etika
yang rapi dan apiks dalam aktivitas bisnis. Etika bisnis akan membuat
masing-masing pihak merasa nyaman dan tenang, bukan saling mencurigai. Etika
bisnis dalam Islam telah dituangkan dalam hukum bisnis Islam yang biasa disebut
dengan muamalah. Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia mempunyai aturan-aturan tertentu, sebut saja aturan dalam hal
jual beli (ba’iy), pinjam meminjam (ariyah), utang mengutang, berinvestasi
(mudharabah), kerjasama bisnis (musyarakah), menggunakan jaminan (rahn),
pengalihan utang (hiwalah) dan masih banyak jenis transaksi lainnya.
Demikian juga perbuatan yang
dilarangan dalam bisnis seperti praktik riba dengan segala macam bentuknya,
penipuan, ketidakjelasan (gharar), gambling (maysir) dan juga monopoli
(ihtikar). Dalam hal tawar menawar jual beli, betapa indahnya jika dibungkus
dengan etika bisnis. Jika seorang pedagang menjelaskan harga pokok sebuah
sepatu dengan harga tertentu dan mengambil keuntungan dengan bilangan tertentu
dengan mempertimbangkan biaya transportasi, sewa tempat dan seterusnya, maka
tidaklah mungkin pembeli merasa keberatan dengan harga yang ditawarkan.
Dengan demikian, tidak terjadi
spekulasi antara penjual dengan pembeli dalam tawar menawar, lebih dari itu
terjadi hubungan persaudaraan yang indah antara penjual dan pembeli, sebab
keduanya saling membutuhkan dan merasa terbantu. Bukan sebaliknya, terjadi
kecurigaan dan bahkan tak jarang penipuan dalam rangka mencari keuntungan dan
kesempatan.
Betapa indahnya cara Rasulullah
Saw. menjajakan barang dagangannya dengan memilah jenis barang berdasarkan
kualitas dengan menetapkan harga sesuai dengan kualitas barang. Tidak ada
kualitas dan harga barang yang ditutupi Rasulullah Saw. Semuanya berdasarkan
harga yang wajar sesuai dengan kualitas barang yang biasa kita sebut dengan
product liability.
Rasulullah selalu menunjukkan
dan menjelaskan kualitas bahkan cacat sebuah barang yang disesuaikan dengan
harga. Maka, tak heran para pembeli merasa senang dan nyaman, tak hanya itu
barang dagangannya juga laku keras dan beliau meraup untung yang berlipat
dengan etika dagang yang agung.
Aktivitas bisnis harus
berorientasi ibadah
Semua jenis transaksi dalam bisnis hendaklah didasari oleh prinsip-prinsip yang menjadi dasar dan patokan. Salah satu prinsip bisnis Islam adalah prinsip ilahiyah (prinsip ketuhanan). Prinsip ini sangat penting dalam mewarnai prilaku pelaku bisnis. Dalam Islam, semua aktivitas termasuk bisnis yang dilakukan bukan hanya pada dimensi duniawi yang berarti berkaitan dengan untung rugi saja.
Namun, lebih dari itu, hubungan
bisnis dalam Islam adalah manifestasi dari ibadah kepada Allah Swt. Sudah
menjadi adagium umum di masyarakat, jika tidak bisa menipu atau atau bermain
“kotor” akan tersingkir dari dunia bisnis. Dengan kata lain, seorang pebisnis
tidak bisa “lepas” dari prilaku kotor, tipu muslihat dan semacamnya, jika
jujur maka akan terbujur.
Paradigma seperti ini tampaknya
sudah menjadi “kesepakatan” masyarakat kita. Memang harus diakui karena
bisnis berkaitan dengan uang maka peluang dan godaan untuk melakukan penipuan
dan kebohongan sangat terbuka lebar. Karenanya, Rasulullah bersabda “pedagang
yang jujur akan bersamaku di surga”.
Dalam hal ini, telah terjadi
pemilahan orientasi seorang pedagang dengan membedakan antara kehidupan dunia
dengan akhirat. Kehidupan dunia harus dikejar dengan cara-cara keduniaan,
sedangkan kehidupan akhirat diperoleh dengan aktivitas ibadah dalam arti sempit
(shalat, puasa, zakat dan haji).
Padahal, Islam tidak memandang
aktivitas bisnis hanya dalam tataran kehidupan dunia an sich, sebab semua
aktivitas dapat bernilai ibadah jika dilandasi dengan aturan-aturan yang telah
disyariatkan Allah. Dalam dimensi inilah konsep keseimbangan kehidupan manusia
terjadi, yakni menempatkan aktivitas keduniaan dan keakhiratan dalam satu kesatuan
yang tidak terpisahkan.
Etika bisnis adalah tuntutan
yang harus dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam menegakkan konsep keseimbangan
ekonomi. Jika saja pengambilan keuntungan berlipat-lipat adalah sebuah
kesepakatan pelaku ekonomi, bukankah hal ini menjadikan supply-demand tidak
seimbang, pasar bisa terdistorsi dan seterusnya.
Nah, betapa indahnya jika sistem
bisnis yang kita lakukan dibingkai dengan nilai etika yang tinggi.Etika itu
akan membuang jauh kerugian dan ketidaknyamanan antara pelaku bisnis dan
masyarakat. Lebih dari itu, bisnis yang berdasarkan etika akan menjadikan
sistem perekonomian akan berjalan secara seimbang.
Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan sumber nilai dan
etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana
bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai
dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor
produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah,
barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik
menyangkut hak milik dan hubungan sosial.Aktivitas bisnis merupakan bagian
integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran
tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan
sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak
dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari
wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi
dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan
individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini
mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu
perkembangan baru yang menggembirakan.Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia
untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam
bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur
eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti
keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282). Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang
bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai
ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang
tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh
Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa
tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional,
negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk
membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia
yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10) Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10) Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil.
Keseimbangan berarti tidak
berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan
individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak
dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Ekonomi
Islam madzhab Indonesia
Beberapa pakar ekonomi Islam
seperti Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi dan Dr. Mohammad Obaidullah serta
pemikir keuangan
syariah
seperti Pr.Dr. Volker Nienhaus melontarkan kritik terhadap praktek ekonomi Islam saat ini,
khususnya di sektor keuangan
Islam yang dilakukan oleh mayoritas negara muslim. Kritikan Siddiqi seperti
yang tercuplik dalam artikelnya Muhammad Fahim Khan (Islamic Science of
Economics: to be or not to be); “Most of us have been busy competing with
conventional economics on its own terms, demonstrating how Islam favors
creation of more wealth, etc. We have had enough of that. It is time to
demonstrate how modern man can live a peaceful, satisfying life by shifting to
the Islamic paradigm that values human relations above material
possessions”Sementara itu Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu
kelemahan industri keuangan terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi
transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup
interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan
ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan
menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke
sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan
sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada
esensi-esensi transaksi keuangan Islam.
Oleh sebab itu beberapa kalangan
menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi
yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya.
Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah
transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah
agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam
terletak pada dukungannya terhadap aktifitas ekonomi produktif, dimana
aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.Sedangkan
Prof.Dr. Volker Nienhaus berpendapat bahwa dalam praktek keuangan syariah
banyak ditemui structure products yang diyakini telah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah, dimana produk-produk tersebut pada dasarnya tidak
dapat diterima secara umum, namun beberapa Sharia Board dan Sharia Scholar
mengakui kesyariahan produk tersebut, seperti produk Tawarruq and Comodity
Murabaha, Collateralized Debt Obligations, Short Selling, Profit Rate Swaps dan
Total Return Swaps. Dan ketika produk-produk tersebut diterapkan ternyata akan
mengakibatkan terjadinya unrestricted liquidity (Tawarruq and Comodity
Murabahah), speculation (Collateralized Debt Obligations dan Short Selling) dan
sharia conversion (Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps). Konsekwensi dari
penerapan produk-produk seperti itu, ekonomi tidak mengalami peningkatan wealth
dan juga dapat mengakibatkan systemic anomalies dan systemic
vulnerability.Implikasi selanjutnya adalah pada tahap awal akan terjadi
Systemic Commingling, dimana Islamic Finance berinteraksi dengan konvensional,
yang diikuti dengan Islamic Finance melakukan emulation (peniruan) terhadap
produk-produk konvensional. Pada tahap selanjutnya akan terjadi Systemic
Inclusion, dimana Islamic Finance berintegrasi dengan Conventional Finance,
sehingga terjadi absorption Islamic Finance dalam operasi Conventional Finance,
yang pada akhirnya sulit untuk membedakan antara produk Islamic Finance dan
produk Conventional Finance. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya:
(i) adanya kompetisi dari bank-bank
konvensional; (ii) adanya demand akan emulated products (karena masyarakat yang
belum well educated pada Islamic Economic/Finance); (iii) lebih tingginya
profit dari structure products; (iv) sharia scholar yang mengutamakan
legalistic approach dari pada substansi ekonomi Islam dan unfavourable regulatory
environment (sesuai kritik Obaidullah). Sehingga agar Islamic Finance tetap
sejalan dengan cita-cita penerapan keuangan syariah, maka pada masa yang akan
datang perlu diupayakan cara-cara mempertahankan distinction dari Islamic
Finance meski dalam prakteknya di lapangan ia akan berdampingan (Systemic
Coexistence) dengan Conventional Finance.Kritikan-kritikan seperti ini, sedikit
banyak mempengaruhi kepercayaan para pakar akan keberhasilan sistem ekonomi
Islam dalam menjawab tantangan kerapuhan sistem ekonomi yang sedang
berlangsung. Bahkan kritikan ini mulai memunculkan keraguan terhadap
keefektifan ekonomi/keuangan Islam sebagai sistem ekonomi alternatif yang mampu
menggantikan sistem ekonomi mainstream. Operasionalnya yang tidak berbeda,
struktur produk yang sama, esensi transaksi yang identik, bahkan tidak ada
perbedaan mencolok dari prilaku pelaku ekonomi membuat banyak pihak mulai
bertanya-tanya, mampukah ekonomi/keuangan Islam bertahan lama. Karena pada
akhirnya dengan kecenderungan yang ada saat ini ekonomi/keuangan Islam akan
blended (melebur) dalam sistem ekonomi mainstream juga.
2.3 Konsep Standar Etika Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu
yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai
rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota
suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi. Etika sebagai rambu-rambu
dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan
anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu
dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh
orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis
dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk
tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu,
pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan
menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan
menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan
kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social
responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut
untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk
"uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks
lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan
excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan
sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan
tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi. Bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan
teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis
perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut
tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat
antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan
perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap
perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada
kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan
berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak
memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan
bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis
dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang
walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong,
Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu
menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang
dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam
dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu
memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan
tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi"
serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan
memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"
kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara
golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah.
Untuk menciptakan kondisi bisnis
yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan
pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu
berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang
selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang
sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main
yang telah disepakati bersama.
Semua konsep etika bisnis yang
telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau
konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika
bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha
sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan"
demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan
"gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran
dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati. Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas
semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika
bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan
perundang-undangan. Hal ini
untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
"proteksi" terhadap pengusaha lemah.
2.4 Etika dan Standar
Akuntansi Islam.
Kata etika
berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Ethos” yang berarti adat, akhlak, waktu
perasaan, sikap dan cara berfikir atau adat-istiadat. Etik adalah suatu studi
mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang dilakukan oleh
seseorang. Etika adalah tuntutan mengenai perilaku, sikap dan tindakan yang
diakui, sehubungan suatu jenis kegiatan manusia. Etika bisnis merupakan
penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan
itu sendiri
Secara sederhana
yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-carauntuk melakukan kegiatan
bisnis, yang mencakup seluruh aspek yangberkaitan dengan individu, perusahaan,
industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita
menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku
(legal) tidak tergantungpada kedudukani individu ataupun perusahaan di
masyarakat.
Etika bisnis
lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang
lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam
kegiatan bisnis seringkali kita temukan transaksi dan kegiatan yang tidak
diatur oleh ketentuan hukum.
Standar akuntansi islam: mungkinkah?
Nothing is impossible-Tidak
ada yang tidak mungkin. Apabila kita telusur kembali ke Al-Qur’an, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Allah SWT menghendaki perlunya pertanggung jawaban
yang benar dalam kegiatan bisnis. Surat Al-Baqarah ayat 282-283 adalah ayat
utama yang berkaitan dengan proses catat mencatat (akuntansi) dalam kegiatan
bisnis. Pada intinya ayat tersebut mengajarkan kepada manusia agar kegiatan
bisnis dilakukan sesuai dengan konsep kejujuran, keadilan dan kebenaran.
Senada dengan apa yang terdapat
dalam ayat tersebut, Scott seperti yang dikutip oleh Salmonson (1969)
menyarankan bahwa keadilan, kebenaran dan kejujuran adalah konsep yang tepat
dalam menentukan standar akuntansi. Lebih lanjut Scott mengatakan bahwa standar
akuntansi adalah pernyataan umum yang mengkaitkan aturan (pedoman) dan prosedur
akuntansi dengan konsep sosial. Dalam hal ini, Scott mengajukan tiga
prinsip utama sebagi berikut.
- Keadilan: prosedur akuntansi dimaksudkan untuk menghasilkan perlakuan yang sama terhadap semua kepentingan, dalam situasi keuangan yang direfleksikan oleh berbagai rekening
- Kebenaran: laporan akuntansi harus menyajikan informasi yang akurat dan benar
- Kejujuran: prosedur akuntansi harus adil, tidak bias dan tidak bersifat sebagian
Lebih lanjut, Scott berpendapat
bahwa prosedur akuntansi akan berubah karena perubahan kondisi lingkungan,
tetapi bukan berubah secara arbitrer hanya karena dimaksudkan untuk memenuhi
tujuan yang menguntungkan pihak tertentu saja.
Jadi pada dasarnya, kondisi
lingkunganlah yang sebenarnya menentukan jenis dan isi standar akuntansi.
Hopwood, et al. (1994, p. 228) berpendapat bahwa akuntansi tidak dapat
dipisahkan dan dianalisis sebagai praktik yang terpisah dari budaya, kebiasaan,
norma dan aturan lainnya. Dalam suatu lingkungan tertentu, individu-individu
dalam suatu komunitas akan membentuk suatu budaya. Teori akuntansi adalah
bagian dari kepribadian dan oleh karenanya merupakan bagian dari budaya
(Gambling dan Karim 1986). Hal ini disebabkan akuntansi adalah realitas yang
terbentuk secara sosial melalui interaksi individu dengan lingkungannya (Hines
1988; Miller 1994; Morgan 1988; Munro 1998; Neimark and Tinker 1986). Jika
individu-individu tersebut adalah muslim, kepribadian mereka seharusnya kepribadian
Islam dan budaya mereka seharusnya budaya Islam. Dengan demikian, teori
akuntansi yang dirumuskan seharusnya teori-teori yang mampu menghasilkan
standar akuntansi yang sesuai dengan ajaran Islam.
Hayashi (1994) juga berpendapat
bahwa standar akuntansi ala Islam sebenarnya dapat dikembangkan, karena
akuntansi model Islam lebih bersifat responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa laporan keuangan yang disajikan dalam
kerangka Islam, sebenarnya dapat memberikan informasi penting yang diperlukan
masyarakat terutama yang berkaitan dengan perhitungan zakat. Dengan demikian,
standar akuntansi yang bercirikan Islam adalah memungkinan untuk dikembangkan.
Kebutuhan akan standar akuntansi
yang bercirikan Islam merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan ekonomi Islam. Munculnya kembali pemikiran-peikiran tentang
ekonomi Islam dan makin meningkatnya persatuan sesama muslim dalam kegiatan
politik dan ekonomi dapat dikatakan sebagai kekuatan utama perkembangan ekonomi
di negara-negara Islam termasuk berkembangnya bank-bank Islam (Abdel-Magid
1981). Perkembangan tersebut pada intinya dapat mengarah pada penciptaan
lingkungan ekonomi dan pasar yang seragam sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Akibatnya, lingkungan pelaporan keuangan perusahaan di negara-negara Islam akan
ditandai dengan kekuatan politk, ekonomi, sosial dan budaya yang berbeda dengan
negara-negara barat. Oleh karena kekuatan tersebut dapat mempengaruhi tujuan
dan format pelaporan keuangan, kebutuhan untuk memiliki standar akuntan yang
bernafaskan Islam merupakan suatu keharusan. Langkah yang dapat dilakukan dalam
menyusun standar akuntansi Islam, dapat dijelaskan di bawah ini.
Langkah utama yang perlu
dilakukan, tentunya upaya untuk membentuk dan mempraktikkan sistem ekonomi yang
sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini disebabkan sistem tersebut akan
mempengaruhi tujuan pelaporan keuangan dan tujuan ini akan berpengaruh terhadap
isi dari standar akuntansi yang akan dihasilkan.
Yang kedua, harus dinyatakan
dengan tegas tujuan dari pelaporan keuangan. Tentunya, tujuan tersebut berbeda
sekali dengan tujuan pelaporan keuangan model Anglo-Saxon yang lebih
mengutamakan kepentingan investor. Atas dasar sistem ekonomi Islam, laporan
keuangan yang dihasilkan harus mampu menyakinkan pemakai laporan bahwa
perusahaan telah melaksankan kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
(Karim 1990). Laporan keuangan harus mampu menyajikan informasi yang dapat
mendorong pelaku ekonomi untuk berbuat adil, jujur dan benar, serta mampu menyajikan
informasi lain seperti informasi untuk dasar perhitungan zakat. Tujuan yang
lain mungkin dapat diadopsi dari tujuan yang diterapkan di negara barat selama
tujuan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Langkah ketiga adalah menentukan
kualitas informasi yang dihasilkan. Jelas bahwa kualitas informasi yang
dihasilkan haruslah relevan, dapat diuji kebnarnnya, tepat waktu dan
karakteritik kualitatif lain yang diterapkan di negara barat yang konsisten
dengan tiga hal pokok yang diajukan Scott (dalam Salmonson 1969) yaitu:
kebenaran, kejujuran dan keadilan.
Atas dasar ketiga langkah di
atas, akhirnya standar akuntansi dapat dikembangkan. Hal ini dilakukan dengan
memformulasikn kembali definisi masing masing elemen laporan keuangan.
Kemudian, metode pengukuran dan penilaian elemen laporan keuangan harus
disesuaikan dengan model penilaian yang sesuai dengan ajaran Islam, misalnya
CoCoA seperti yang disarankan oleh Chambers (1966).
Yang keempat adalah menentukan
kriteria yang digunakan mengakui elemen laporan keuangan sehingga elemen
tersebut dapat disajikan sesuai dengan syariat Islam. Yang terakhir adalah
memformulasikan metode yang tepat untuk mengungkapkan semua informasi yang
berkaitan dengan kegiatan bisnis perusahaan. Mengingat pengungkapan informasi
merupakan faktor penting dalam menciptakan laporan keuangan yang berkualitas,
aspek pengungkapan ini harus berpegang pada ketiga prinsip dasar yaitu,
kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Upaya di atas tentu saja bukan
suatu hal yang mudah dilakukan. Dalam mengembangkan standar akuntansi, proses
yang terjadi dalam setiap tahap terebut mungkin menimbulkan pro dan kontra,
karena masing-masing individu memiliki interpretasi yang berbeda terhadap
aturan-aturan keagamaan (Karim 1995). Namun demikian harus diyakini bahwa model
tersebut dapat dikembangkan walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama. Kunci
utamanya adalah bahwa perbedaan yang timbul haruslah diselesaikan dengan
menggunakan referensi yang berbasis ajaran Islam bukannya menggunakan
pendekatan teori akuntansi yang selama ini terus dimuati konsep akuntansi
kapitalis. Waktu yang lama sebenarnya bukan kendala utama untuk mengembangkan
standar akuntansi Islam. Kemauan dan niat utama untuk menyatukan pendapat dari
berbagai pihak untuk mengembangkan standar akuntansi yang bercirikan Islam,
merupakan kunci utama berhasil tidaknya pengembangan standar akuntansi yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Artikel Baguss…
ReplyDeleteSekedar ingin berbagi, barangkali bisa sedikit menambah bahan referensi mengenai kasus masalah suap pajak dari sisi etika bisnis.
Klik –> Makalah Suap Pajak PT Easman Christensen