Sampai saat ini,
perkembangan akuntansi syari'ah masih mengalami dilema. Dalam perkembangannya
terutama di Indonesia, akuntansi syari'ah terpecah menjadi dua aliran yakni,
akuntansi syari'ah aliran idealis dan akuntansi syari'ah aliran pragmatis.
1.
Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
Akuntansi syariah
aliran idealis menghendaki akuntansi syariah benar-benar lahir dari nilai nilai Islam dan dibangun berdasar pedoman Al-Qur’an dan As-Sunah.
tidak dibenarkan mengambil atau menggunakan akuntansi yang sekarang ada yaitu akuntansi konvensional. akuntansi konvesional sarat akan nilai-nilai barat. Dan kadang nilai tersebut bertentangan dengan prinsip syariah itu sendiri.
tidak dibenarkan mengambil atau menggunakan akuntansi yang sekarang ada yaitu akuntansi konvensional. akuntansi konvesional sarat akan nilai-nilai barat. Dan kadang nilai tersebut bertentangan dengan prinsip syariah itu sendiri.
Aliran Akuntansi
Syari’ah Idealis melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar”
jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya,
landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan
dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan
laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan
2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan
filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai
bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat
dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI
maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan
konsep akuntansi modern berbasis entity theory
(seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan
pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan
akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang
membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan
berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip
syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah
akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b;
Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar
teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran
idealis adalah Enterprise Theory
(Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih
luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono
(2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak
langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b)
konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise
theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui
eksistensi dari indirect participants.
Berdasarkan
kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001)
mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate
ET. Menurut konsep ini stakeholders
pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan
menjadi dua golongan yaitu direct participants
dan indirect participants. Menurut
Triyuwono (2001) direct stakeholders
adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari:
pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan
lain-lainnya. Indirect stakeholders
adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri
dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq
dan shadaqah), dan lingkungan alam
(misalnya untuk pelestarian alam).
2.
Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Berbada dengan
aliran idealis, akuntansi syariah aliran pragmatis memandang belum tepat
waktunya jika sekarang diberlakukan akuntansi idealis.pasalnya, untuk mencapai
ideal, butuh waktu yang cukup lama. butuh kerangka sistem ilmu yang tidak
dengan sekejap mata dalam membangunya. daripada tidak bisa sama sekali lebih
baik kita ambil teory yang sudah dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan
yang ada, sementara tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam sepertinya
tidak masalah. justru mungkin teory tersebutlah yang dulu berlaku pada masa
rosul
Aliran akuntansi
pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori
akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga
misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya).
Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi
dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan
nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional
tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic
Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan
PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman
pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada
pendekatan kewajiban, berbasis entity theory
dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat
lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI
misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda
dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran
kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan
mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan
mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan
syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan
pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih
diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan
lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang
longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi
daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari
beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003),
Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al.
(2004).
Penelitian lain
dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan
keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar
AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan
sumber dana zakat dan penggunaannya,
laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan
sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan
bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta
pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian
praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia.
Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai
tujuan syari’ah (maqasid syari’ah).
Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik
bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem
akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et
al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak
murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara
muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh
pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan
syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah
pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis.
Pola yang establish ini mempengaruhi
pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah
lebih menekankan formalitas fiqh
daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli
syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah.
Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan
prosedur di lapangan.
3.
Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang
dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi
syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah
pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya
adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi
dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah
idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah
penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan
perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk
memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan
idealis, silakan lihat gambar berikut:
4.
Proyek IMPLEMENTASI Shari’ate Enterprise Theory
Proses pencarian
bentuk teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono
(2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang
konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat
dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA
agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut
Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate
value added (SVA). SVA dijadikan source
untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994;
2000) dan Expanded Value Added Statement
(EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005)
menjadi Shari’ate Value Added Statement
(SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka)
yang terjadi secara material (zaka) dan
telah disucikan secara spiritual (tazkiyah).
SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang
menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban
distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS
(pembentukan sources SVA) dan bagian
bawah SVAS (distribusi SVA).
SVAS lanjut
Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif
dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat
aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang
bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan).
Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama,
pencatatan laporan pembentukan (source)
VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua,
penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan
dalam bentuk laporan kuantitatif.
DISARIKAN DARI:
Mulawarman, Aji
Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi
“Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st
Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji
Dedi. 2007d. Menggagas Teori Akuntansi Syari’ah. Seminar
Akuntansi Syari’ah, Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Negeri Malang, 24 Nopember.
Mulawarman, Aji
Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah:
Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit
Kreasi Wacana. Jogjakarta.
Mulawarman, Aji
Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah. Simposium
Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli
Mulawarman, Aji
Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah Berbasis Trilogi
Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi
Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.
Mulawarman, Aji
Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding
Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas
Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.